ROKAN HILIR – Polemik dugaan pungutan liar (pungli) sebesar Rp25 ribu per hari terhadap pedagang di lingkungan SMPN 1 Bangko terus mendapat sorotan publik. Meski pihak sekolah menyebut pungutan itu hasil musyawarah bersama, investigasi menemukan sejumlah kejanggalan, terutama terkait transparansi aliran dana dan potensi tumpang tindih dengan anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah.
Kepala SMPN 1 Bangko, Hj. Sudarmiatun, S.Pd, menegaskan dana hasil pungutan tersebut digunakan untuk mendukung kebutuhan operasional sekolah. Menurutnya, seluruh pencatatan keuangan dilakukan secara resmi oleh bendahara sekolah dan tidak dipakai untuk kepentingan pribadi.
“Semua tercatat, tidak untuk pribadi, tapi untuk operasional sekolah,” jelas Sudarmiatun.
Jika dihitung, jumlah dana yang terkumpul dari pungutan itu tergolong besar. Dengan sekitar 10 pedagang yang berjualan setiap hari, maka dalam 20 hari efektif sekolah, dana yang diperoleh bisa mencapai Rp5 juta per bulan. Jika dikalkulasi setahun, jumlahnya bisa menembus Rp60 juta.
Fakta lain yang menjadi sorotan adalah besarnya alokasi dana BOS untuk pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah. Berdasarkan data, pada tahun 2023, tahap I SMPN 1 Bangko menerima Rp64.945.000 dan tahap II sebesar Rp52.977.000. Sementara untuk tahun 2024, tahap I sebesar Rp115.614.000 dan tahap II Rp115.247.000.
Dengan angka yang fantastis itu, publik pun mempertanyakan alasan masih adanya pungutan tambahan kepada pedagang.
Seorang pemerhati pendidikan Rohil menegaskan, hal tersebut berpotensi menimbulkan dobel anggaran.
“Kalau sudah ada BOS, kenapa masih perlu iuran dari pedagang? Ini harus diaudit transparansinya. Jangan sampai ada kebocoran anggaran,” ungkapnya.
Mengacu pada Permendikbud Nomor 63 Tahun 2022 tentang Juknis BOS, kebutuhan operasional sekolah, termasuk perawatan fasilitas, kebersihan, dan keamanan, sudah tercakup dalam BOS. Regulasi juga secara tegas melarang adanya pungutan di luar ketentuan resmi, termasuk Tarikan dana kepada pedagang di sekolah tanpa dasar hukum, Pungutan dalam PPDB, seragam, atau buku pelajaran, Pungutan yang memberatkan siswa atau wali murid, dan pungutan yang tidak dilaporkan secara transparan.
Meski sekolah mengantongi surat persetujuan pedagang, praktik tersebut tetap dinilai tidak sah karena tidak melalui mekanisme resmi, seperti komite sekolah atau persetujuan wali murid.
Apabila terbukti melanggar aturan, konsekuensinya tidak ringan. Kepala sekolah bisa dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, penurunan pangkat, hingga pencopotan jabatan.
Dari sisi hukum, praktik pungli dapat dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan atau Pasal 423 KUHP tentang penyalahgunaan jabatan, dengan ancaman hukuman penjara.
Meski demikian, para pedagang mengaku tidak merasa dirugikan. Mereka justru menilai pungutan Rp25 ribu per hari tergolong ringan, karena berjualan di lingkungan sekolah membuat dagangan mereka laris.
Situasi ini menciptakan dilema, Pedagang merasa diuntungkan, tetapi legalitas pungutan yang tidak memiliki dasar hukum kuat tetap dipertanyakan.
Kasus dugaan pungli di SMPN 1 Bangko kini menjadi sorotan serius publik. Masyarakat menunggu langkah inspektorat pendidikan dan aparat penegak hukum untuk mengaudit kejelasan aliran dana tersebut.
Hingga berita ini dipublikasikan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Rohil melalui Bidang SMP, Retno, belum memberikan keterangan resmi meski sudah dikonfirmasi wartawan.(Drc)
